Oleh: Pdt. Dr. Stephen Tong
Tidak mungkin seseorang tidak akan berbahagia, ketika
ia mengingat kematian Kristus, mengerti akan kasih-Nya, dan membagi-bagikan
kasih Kristus kepada sesama. Tidak ada seorang pun yang tidak berbahagia,
karena ia dapat dengan sungguh-sungguh melayani Kristus yang sudah mati dan
bangkit dengan pengabdian yang penuh. Firman Tuhan adalah sumber kekuatan dan
satu keajaiban yang memberikan iman yang sejati.
Kegenapan yang digenapkan Yesus Kristus adalah kegenapan
yang bersifat paradoks. Menurut pandangan manusia, Kristus tidak menggenapkan
apa-apa, Kristus tidak menyukseskan apa-apa, dan Kristus tidak menghasilkan
apa-apa. Menurut manusia, seseorang yang bergantung di atas kayu salib tidak
memiliki kesuksesan ataupun keunggulan apa pun. Akan tetapi, dari permulaan
kitab suci sampai pada akhirnya, kita dididik oleh Tuhan Allah untuk tidak
melihat segala sesuatu secara lahiriah. Allah mendidik kita untuk tidak melihat
segala sesuatu hanya dengan pandangan mata lahiriah yang sudah ditipu oleh
iblis. Biarlah kita memiliki pandangan seperti pandangan Tuhan Allah sendiri
yang melihat sampai ke batin. Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi
Tuhan melihat hati sanubari (1 Samuel 16:7). Bagi manusia, Kristus dilihat sebagai manusia
yang tidak memiliki keunggulan ataupun kesuksesan, tetapi sebagai manusia yang
gagal. Namun, Yesus Kristus yang kelihatan gagal adalah Yesus Kristus yang
meneriakkan perkataan, "Tetelesthai! Genaplah!"
Apakah yang telah digenapkan-Nya? Apakah Dia sudah
mendirikan satu gedung yang besar? Sekolah Kristen yang mewah? Buku Kristen
yang tebal? Sistem pendidikan yang baru? Sistem filsafat yang melawan sistem
filsafat yang lain? Tidak. Tetapi apa yang digenapkan Yesus Kristus di atas
kayu salib adalah apa yang tidak mungkin digenapkan oleh politik, militer,
ekonomi, kebudayaan, pendidikan, filsafat, dan segala ilmu dunia. Di dalam
perkataan Kristus yang ke-6, manusia boleh melemparkan jangkar pengharapannya.
Manusia boleh mengembuskan napas yang terakhir dengan satu jaminan yang pasti.
Genaplah!
Kristus mengucapkan, "Genaplah!" dengan satu
kepastian yang sungguh. Perkataan ini menembus dunia malaikat dan mencengangkan
mereka, menembus dunia manusia dan memberi pengharapan terbesar kepada mereka,
menembus alam maut dan menggoncangkan neraka.
Jika Tuhan mengatakan "Gagallah!" maka
meskipun Dia bangkit, kita tidak mengetahui dalam hal apa Dia menjanjikan
jaminan keselamatan. Akan tetapi, karena Tuhan Yesus mengatakan
"Genaplah!" maka inilah jaminan yang pasti akan kebangkitan kita!
Tidak ada seorang pun pernah memiliki kegagalan secara lahiriah lebih dari apa
yang dinyatakan Yesus, Orang Nazaret yang tergantung di atas kayu salib. Namun
sesungguhnya, tidak ada seorang pun yang pernah mencapai kemenangan,
kesuksesan, dan keunggulan yang lebih besar dari apa yang pernah dinyatakan
Yesus Kristus yang mati terpaku semacam itu. Di atas kematian Yesus Kristus ada
satu perubahan atau transformasi yang besar atas segala konsep, sistem, dan
segala arah di dalam alam semesta. Arah manusia berdosa yang menuju kepada
neraka karena melawan Tuhan Allah harus berubah di muka kayu salib. Segala
sistem yang lama harus berubah menjadi sistem yang baru, menurut arah sinar
cahaya yang keluar dari takhta Allah dan Anak Domba yang pernah disembelih di
atas Golgota.
Pada waktu Yesus Kristus mengatakan
"Tetelesthai!", maka terbelahlah tirai yang memisahkan tempat suci
dan tempat maha suci di bait Allah dari atas sampai ke bawah. Bukan tangan
manusia yang melakukannya, bukan pisau atau gunting, tetapi kuasa Allah sendiri
yang menjalankan hal ini. Di dalam keempat Injil dicatat bahwa sebelum Kristus
mati, Ia mengucapkan perkataan dengan seruan yang nyaring, suara teriakan yang
keras. Jelas bagi kita bahwa itu adalah hal yang tidak logis, di luar logika.
Orang yang disalibkan diperkirakan akan mati dalam 2 - 4 hari. Dan sejak hari
pertama disalibkan, orang tersebut akan mengalami satu gejala yang tidak akan
berubah sampai beberapa hari kemudian. Gejala itu timbul karena banyaknya darah
yang mengalir keluar dari tubuh orang yang disalibkan. Darah yang berkurang
akan makin mengental dan darah yang menuju ke bagian kepala akan berbeda
jumlahnya dengan darah yang beredar di bagian tubuh yang lebih bawah. Lambat
laun, karena kekurangan darah yang naik ke atas kepala, maka belum sampai satu
hari, semua kekuatan di leher orang tersebut akan lenyap, sehingga orang yang
disalibkan harus menundukkan kepala.
Gejala kekaburan atau kepusingan juga akan dialami
tetapi orang tersebut belum akan mati. Belum mati, tetapi tidak akan mungkin
hidup lagi seperti biasa. Tubuh akan menggetar, makin lama makin lemah dan
manusia yang disalibkan akan mati secara perlahan. Detik demi detik ia akan
mati dalam kekejaman dan kesulitan yang tidak mungkin ditolak. Lebih mudah mati
digantung, ditembak, kursi listrik, atau dipenggal dibandingkan mati disalib.
Beratnya tubuh yang tergantung mengakibatkan lubang paku menjadi besar dan
untuk menjaga supaya seluruh tubuh tidak jatuh, maka orang tersebut diikat pada
kaki dan tangannya. Akan tetapi, tali tersebut justru mengakibatkan kematian
yang pelan-pelan karena darah yang mengalir keluar tertahan oleh ikatan tali.
Orang yang menyalibkan orang lain adalah orang yang suka melihat orang lain
mati secara perlahan. Di dalam kondisi semacam itu, hanya Kristus satu-satunya
yang berbeda dengan orang lain. Sebelum mati, Ia menengadah dan berkata kepada
Allah dengan kekuatan yang luar biasa. Suara-Nya nyaring dan dengan teriakan,
khususnya pada waktu mengatakan empat perkataan terakhir.
Pada saat orang normal tidak bisa berteriak karena
tidak mampu, justru saat itu Kristus berteriak dengan keras. Sesudah enam jam
disalibkan, siapakah yang bisa berteriak? Sesudah mengatakan
"Genaplah!", maka tirai di bait suci terbelah. Lalu Kristus
mengatakan kalimat terakhir, "Bapa, Aku menyerahkan jiwa-Ku ke dalam
tangan-Mu!" Setelah itu, Dia mengembuskan napas yang terakhir. Ini satu
mujizat. Ini satu hal yang luar biasa. Ini satu hal yang sama sekali berbeda
dengan tradisi dan catatan sejarah. Kristus satu-satunya yang menyerahkan
nyawa-Nya di dalam kekuatan yang luar biasa. Jiwa Kristus bukan dirampas oleh
kematian. Pada waktu hidup-Nya, Kristus dirampas. Keadilan bagi-Nya dirampas,
hak-Nya dirampas, pembelaan-Nya dirampas, dan kebajikan bagi-Nya pun dirampas.
Manusia tidak memedulikan bahwa dengan tangan-Nya, Kristus menyembuhkan orang
lain. Tangan yang menyembuhkan orang lain dipakukan. Kepala-Nya yang memikirkan
firman Allah dan hal-hal ilahi dimahkotai mahkota duri. Kaki yang berjalan ke
sana kemari mencari domba yang sesat adalah kaki yang ditusuk. Tuhan Yesus
memiliki cinta yang tidak ada bandingnya. Tuhan Yesus Juru Selamat
satu-satunya. Pada waktu disalibkan, Ia mengucapkan kalimat yang terakhir,
"Bapa, Aku menyerahkan Roh-Ku ke dalam tangan-Mu!"
Ucapan Kristus di atas kayu salib dimulai dengan
"Bapa..." dan diakhiri dengan "Bapa..." Ini menjadi satu
elemen paling pokok bagi pelayanan kita. Di atas kayu salib, Yesus Kristus tidak
berkata banyak kepada manusia. Bagi Kristus yang penting adalah satu kesetiaan
kepada Bapa. Yang mengutus Kristus adalah Bapa, dan yang akan menerima Kristus
kembali ke sorga juga adalah Bapa. Jikalau yang memanggil Yesus Kristus adalah
uang, maka Dia akan melayani uang. Akan tetapi, karena yang memanggil Kristus
adalah Bapa, maka Kristus memiliki prinsip yang memulai pelayanan-Nya dengan
Bapa dan mengakhirinya juga dengan Bapa. Allah Bapa yang memulai, Allah Bapa
juga yang menjadi Penggenap. Bapa yang menciptakan segala sesuatu terjadi dan
segala sesuatu ini juga akan disempurnakan oleh Bapa yang mengizinkan segala
sesuatu ini terjadi. "The Creator is also The Consummator". Allah
yang mengerjakan pekerjaan kebajikan adalah Allah yang akan menggenapi pekerjaan
kebajikan itu. Dan, Kristus yang telah diutus oleh Allah mengetahui bahwa Dia
tidak boleh hidup untuk diri-Nya sendiri.
Sebagaimana apa yang pernah didoakan dan dinyatakan
Kristus dalam ucapan yang agung di Getsemani, "Bapa, bukan kehendak-Ku,
melainkan kehendak-Mulah yang terjadi" (Lukas 22:42),
demikian pula di atas kayu salib, Kristus mengucapkan tujuh kalimat yang
menunjukkan relasi vertikal antara Dia dengan Allah Bapa. Kalimat pertama
adalah "Ya, Bapa, ampunilah mereka ...", kalimat terakhir adalah
"Ya, Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku!" Kristus
memohonkan pengampunan bagi manusia berdosa kepada Bapa dengan kematian-Nya.
Kristus yang mati bagi manusia menurut kehendak Bapa sekarang menyerahkan
jiwa-Nya kepada Bapa. Perkataan pertama dimulai dengan "Bapa",
perkataan terakhir diakhiri dengan "Bapa". Tetapi perkataan keempat
yang ada di bagian tengah adalah "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan
Aku?" Di tengah-tengah antara Alfa sampai Omega, ada lembah bayang-bayang
maut.
Pada permulaan, dengan girang kita menjalankan
kehendak Allah. Di saat terakhir, relakah kita menyerahkan seluruh hidup kepada
Allah? Di tengah-tengah perjalanan panjang kehidupan, Allah mengizinkan orang
yang menjalankan kehendak-Nya untuk mengalami bayang-bayang maut yang
menakutkan. Lembah bayang-bayang maut adalah lembah yang pernah dijalani
Kristus secara sendirian. Saat itu Bapa tidak mendampingi Dia. Kristus
menjalaninya sendiri. Itulah sebabnya, sejak hari itu, barangsiapa harus
menjalani bayang-bayang maut boleh berkata kepada Tuhan Yesus, "Engkau
beserta dengan aku." Kristus sudah menjalani jalan itu. Apakah Anda takut
akan hari depan? Bagi Kristus, hari depan kita adalah hari kemarin. Pada waktu
Kristus mengatakan "Genaplah!" dan "Ya, Bapa, ke dalam tangan-Mu
Kuserahkan Roh-Ku!", janganlah kita lupa bahwa mengatakan hal seperti itu
memerlukan iman kepercayaan yang bukan main besarnya.
Pada waktu Yesus dibaptiskan, Allah Bapa bersaksi dengan
langit yang terbuka dan suara yang nyaring, "Engkaulah Anak yang Kukasihi,
kepada-Mulah Aku berkenan." (Lukas 3:22) Pada waktu di bukit Hermon, Yesus Kristus
menyatakan diri-Nya dalam kemuliaan beserta dengan Musa dan Elia, Allah sekali
lagi berkata dari langit, "Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah
Dia." (Lukas 9:35)
Namun, justru di dalam kepicikan, kepedihan, dan sengsara yang paling besar
yang dialami Kristus di atas kayu salib, Allah seolah-olah menudungi muka-Nya
dan seakan-akan tidak melihat akan sengsara Yesus Kristus.
Saat Yesus berteriak, "Allah-Ku, Allah-Ku,
mengapa Engkau meninggalkan Aku?" adalah saat yang sungguh-sungguh
mengerikan. Akan tetapi, pada waktu Yesus mengatakan "Sudan genap!",
Yesus mengatakannya di dalam keadaan yang tidak berubah apa-apa. Dia tetap tergantung
di atas salib. Tidak ada pertolongan dari Allah. Orang-orang di bawah salib
menunggu apakah pertolongan dari Allah akan datang. Orang-orang pernah
mendengar bahwa pada waktu Kristus berdoa di bukit Hermon, Elia dan Musa datang
mendampingi Dia. Jadi, sekarang mereka menantikan apakah hal itu akan terulang
lagi. Tetapi kondisi tidak berubah. Doa Kristus seakan-akan tidak dijawab.
Kesulitan seolah-olah makin menjadi besar. Kelemahan makin menjadi nyata. Darah
terus mengalir. Segala sesuatu makin menjadi gelap. Orang-orang di bawah salib
tetap menghinakan Dia. Dengan demikian, apakah kesuksesan yang dinyatakan
Kristus dengan perkataan "Genaplah"? Apakah yang dinyatakan-Nya
dengan perkataan "Ya, Bapa, Aku menyerahkan Roh-Ku ke dalam tangan-Mu"?
Dengan melihat Kristus, kita melihat manusia pertama
di dalam sejarah yang menerjunkan diri ke dalam kekekalan -- dalam keadaan yang
tanpa kegentaran sama sekali. Kristus yang sudah menang memimpin kita masuk ke
dalam kemuliaan. Dia menjadi teladan bagi Anda dan saya. Betapa banyak orang
yang pada waktu hidupnya memiliki keberanian, tetapi pada waktu menghadapi
kematian, segala keberaniannya hilang sama sekali. Namun Kristus, di dalam
kalimat terakhir sebelum mengembuskan napas-Nya yang terakhir, memberi contoh
bagi kita. Jikalau segala kepicikan belum berubah, kepedihan masih dialami,
bahaya masih mengancam, dan segala situasi tetap sama, padahal saat kematian
kita semakin mendekat, bisakah kita tetap memanggil Allah sebagai Bapa kita?
Apakah Allah tetap menjadi Bapa kita? Apakah dari dulu sampai sekarang Dia
tetap menjadi Bapa Anda? Apakah kita tetap bisa melihat anugerah-Nya tetap
mengelilingi kita? Jika kita memanggil Allah sebagai Bapa, hanya karena kita
sudah menikmati segala berkat dari-Nya, bagaimana jika semua berkat sudah tidak
ada lagi? Bagaimana jika segala yang indah sudah hilang dan segala kepicikan
kita alami? Apakah kita tetap memanggil Allah sebagai Bapa kita pada detik
terakhir sebelum kita mati? Apakah Anda masih bisa memanggil Bapa? Apakah doa
Anda masih didengarkan oleh-Nya? Ya. Karena Yesus Kristus menjadi teladan kita.
"Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan Roh-Ku."
Sumber:
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku
|
:
|
7 Perkataan Salib
|
Judul artikel
|
:
|
Ya, Bapa ke dalam tangan-mu Kuserahkan nyawa-Ku
|
Penulis
|
:
|
Pdt. Dr. Stephen Tong
|
Penerbit
|
:
|
Lembaga Reformed Injili Indonesia, Jakarta, 1992
|
Halaman
|
:
|
133 – 140
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar